Jumat, 26 Februari 2016

Dirimu Apa Adanya


Gadis berjilbab ungu itu begitu manis, senyumnya begitu menawan, dan lesung pipinya sangat menarik hati. Gadis itu tengah bersandar pada pohon kelapa di kebun milik Pak Totok sembari membaca sebuah buku yang cukup tebal. Matanya yang dibingkai kacamata, menatap serius tiap halaman yang ia baca, sangat menawan. Seperti ada sebuah magnet yang membuat para lelaki seperti Arif tak bosan melihatnya berlama-lama. Arif sendiri hanya mampu memandanginya dari sudut terjauh yang mungkin tak dapat gadis itu lihat. Sebagai lelaki, tentu ia merasa seperti pecundang. Ia tak mampu menyampaikan perasaannya dengan gamblang. Jangankan menyampaikan perasaan, untuk mendekati dia saja tak bisa.
“Jangan seperti maling, Le. Kalau kamu suka, bilang saja suka,” ucap ibu sambil mengumpulkan buah kelapa yang sudah Arif petik. Lelaki itu terperanjat mendengar seruan ibu. Ia elus dadanya menenangkan jantung yang tiba-tiba saja berdetak begitu kencang.
“Arif bukan maling, Bu. Lagian mana berani Arif mencuri gadis semanis dan sesantun Shafa,”
“Loh, Shafa itu siapa? Ibu sepertinya kita tidak membicarakan nama itu sebelumnya,” Ucap ibu dengan nada jahil.
Arif masuk ke perangkap ibu. Ibunya itu memang gambaran wanita cerdas, mampu membaca anaknya dengan begitu baik. Semua yang dirasakan anak-anaknya, ibu pasti mengetahui sekecil apa pun itu.
“Bu, kelak ketika dewasa dan matang, Arif ingin meminang Shafa,” Ujarnya taktis. Ibu tiba-tiba saja berhenti menata buah kelapa. Beliau memandang lelaki itu lembut kemudian duduk di sampingnya. Tangan tuanya mengelus punggung Arif penuh sayang, seolah memberikan pengertian padanya. “Shafa memang gadis yang manis, cerdas, dan juga berperangai baik. Dia gadis yang rajin beribadah dan juga sopan terhadap orang yang lebih tua. Dia begitu paham terhadap hak dan kewajibannya dan dapat melaksanakannya dengan baik.”
“Dan kamu Le, anak Ibu tercinta. Dengan apa yang telah kau raih sekarang ini, apakah kau sudah merasa pantas bersanding dengan Shafa? Ibu ingin kamu introspeksi terlebih dahulu,” lanjut ibu.
Pikiran Arif mulai berputar. Ia membandingkan dirinya dengan Shafa. Berbeda. Mereka jauh berbeda. Ia merasa sangat timpang jika dibandingkan dengan Shafa. Mungkinkah ini pertanda kalau Shafa memang bukan jodohnya? “Nak, Ibu bicara demikian bukan untuk melunturkan semangatmu, tapi untuk membakar semangatmu. Pantaskanlah dirimu untuk Shafa, jadilah lelaki yang lebih baik dari ini sehingga mampu memimpin keluarga kalian nanti,” ibu tersenyum lembut. Arif ikut tersenyum melihatnya. Ibunya memang benar. Ia sama sekali belum pantas untuk bersanding dengan gadis itu. Ia peluk ibunya dengan penuh sayang sambil menatap Shafa dari kejauhan. Dan detik itu lelaki itu putuskan bahwa ia akan memantaskan diri. Merubah dirinya dan keadaan keluarganya menjadi lebih baik lagi.
Hari berganti hari, tahun berganti tahun, kini Arif telah menjadi seorang arsitek yang sukses. Banyak bangunan bertingkat yang merupakan hasil desainnya. Perekonomiannya pun jauh lebih baik dari sebelumnya. Sekarang ia mampu memperbaiki gubuk reotnya menjadi sebuah rumah yang layak tinggal. Selain itu, berjejer sepeda motor, sepeda, dan juga mobil di sana. Kehidupannya berubah cukup signifikan setelah empat tahun ia merantau. Lelaki itu kini tengah termenung di teras rumahnya. Ia tengah memikirkan keinginanya dahulu untuk menyunting Shafa. Ia bimbang dan terlalu takut untuk melakukan itu, karena ia merasa masih kurang pantas untuk mendampingi gadis yang sempurna di matanya itu.
“Kamu ini sedang memikirkan apa, Le?”
“Menurut Ibu, apakah sekarang ini Arif sudah pantas untuk Shafa?” ibu diam sejenak.
“Cobalah, Nak. Lamarlah Shafa terlebih dahulu. Dan kita bisa melihat apakah menurut Shafa kamu ini pantas untuknya atau tidak.” jelas sang ibu bijak.
Arif memikirkan pendapat ibunya dengan saksama. Ia merasa memang inilah saatnya ia mencoba melamar Shafa. Perjuangannya selama empat tahun memantaskan diri akan ditentukan sebentar lagi.
Arif melangkahkan kaki menuju rumahnya dengan rasa yang bercampur aduk. Napasnya ia hembuskan berat. Raut wajahnya muram dan tampak tak bersemangat. Sang ibu yang berjalan di belakangnya hanya menatap punggung anaknya itu dengan pasrah. Takdir memang tidak ada yang bisa menebak. Sekeras apa pun manusia berencana, segala kejadian hanya dapat diserahkan pada Tuhan.
“Duduklah dulu, Nak,” Tanpa membantah, Arif duduk di salah satu kursi kemudian mengusap wajahnya kasar.
“Ibu pernah berkata padamu bukan? Kalau Shafa memang jodohmu, dia pasti akan bersabar menunggumu. Tapi ternyata Shafa tidak menunggumu, jadi kamu harus menerima hal itu dengan hati yang lapang, Le,”
“Arif ingin seperti itu, Bu. Namun rasanya sangat sulit. Semua yang Arif lakukan selama ini berawal untuk memantaskan diri sebagai pendamping Shafa… tapi…”
“Itu berarti Shafa memang bukan jodohmu, Le. Allah sudah menyiapkan jodoh untukmu. Kamu hanya harus lebih bersabar dan berusaha lebih keras. Ingat, gadis baik hanya untuk pria yang baik. Jadilah kamu lelaki baik, agar mendapatkan gadis baik yang melebihi Shafa.”
Kata-kata ibunya itu tidak berhasil menghibur Arif yang masih bersedih. Ingin sekali pria itu melupakan Shafa dan beralih mencari gadis yang ditakdirkan untuknya, namun sulit. Melupakan seorang gadis yang membuatnya berubah menjadi lebih baik sangat sulit dilakukannya. Ia hanya dapat merenung dan berdoa agar nasibnya menjadi lebih baik dari sekarang. Suara bel rumah membangunkan Arif dari lamunannya. Ia berdiri degan malas kemudian membuka pintu. Matanya membelalak ketika didapatinya Shafa di hadapannya berurai air mata dan sedikit terisak. Wajahnya sangat merah membuat Arif heran. Siapa yang sudah membuat gadis yang disukainya bersedih seperti ini?
“Mas Arif, maafkan Shafa. Maafkan Shafa yang tidak bisa menerima lamaran Mas Arif,” ucap gadis itu penuh dengan isakan. Arif mengernyitkan dahi melihat Shafa yang tampak begitu bersalah menolak lamarannya. Tadi memang ia tidak menolak secara langsung lamaran itu, hanya lewat ayahnya. Ia tak menyangka bahwa Shafa sangat begitu merasa bersalah. “Sudahlah, Shafa. Saya ikhlas lahir batin jika kamu menolak lamaran saya tadi. Saya tidak menyalahkanmu, karena sudah memang hakmu untuk memilih untuk menerima atau menolak saya.”
“Bu… bukan itu masalahnya, Mas. Ada satu dan lain hal yang membuat Shafa menolak Mas Arif.” Shafa menangis semakin terisak. “Shafa sudah tidak suci lagi, Mas!” pekik Shafa yang membuat Arif terkejut. Tangisan Shafa semakin keras memancing tetangga menonton kejadian di rumah Arif itu. Ibu Arif pun berdiri menyaksikan keduanya. Arif dan semua orang begitu terkejut mendengarnya. Mereka mengenal Shafa sebagai gadis baik-baik dan juga berakhlaq mulia. Rasa tidak percaya menyisip begitu saja ketika Shafa beicara demikian.
“Bagaimana bisa?” Arif menatap Shafa penuh tuntutan.
“Mas Adam yang melakukannya. Tidak lama setelah Mas Arif pergi dari desa ini, Mas Adam melakukan itu. Dan… dan…”
“Dan kau menerimanya begitu saja?” tanya Arif tak percaya.
“Mas, dengarkan Shafa dulu,”
Arif melirik banyak tetangga yang menontoninya dan juga Shafa. Pandangan sinis terlihat jelas mereka tujukan pada Shafa setelah mendengar ceritanya. Bisik-bisik negatif pun ke luar dari mulut mereka, bahkan terdengar hingga telinganya. Tak tahan melihat Shafa dipandangi seperti itu, Arif meminta Shafa masuk ke rumahnya yang kemudian disusul oleh ibunya. Arif mempersilahkan Shafa duduk, sementara ibunya membuatkan teh hangat di dapur untuk gadis itu. Kedua tangan Shafa bergetar saat dilihatnya Arif menatapnya marah. Ia salah. Ia memang salah. Ia tidak bisa menjaga dirinya sendiri. Ia memang tidak pantas untuk Arif. Ia yakin, pria itu sekarang jijik melihatnya yang sudah kotor.
“Tenanglah, jangan takut,” ujar Arif mencoba meredakan emosinya. Ia marah. Ia sangat marah pada Adam, kakak kandung Shafa sendiri. Kakak Shafa itu sama sekali tidak bermoral hingga melakukan hal keji itu pada adiknya sendiri. Arif sampai tak habis pikir apa yang ada dalam pikiran Adam hingga melakukan hal hina seperti itu.
“Aku merasa tidak pantas untukmu, Mas. Maafkan aku karena menolak lamaranmu. Tapi sungguh, setelah menolakmu hatiku terasa sangat sakit.” Jelasnya.
“Minumlah dahulu, Nak. Tenangkan dulu pikiranmu,” ibu Arif mengulurkan secangkir teh pada Shafa. Shafa menerimanya kemudian menyesap teh itu. Rasa hangat teh itu mengalir ke dalam tenggorokan, membuatnya sedikit tenang. Ia letakkan cangkir itu ke atas meja, dan menatap Arif lagi.
“Kau tahu, Mas? Sekarang ini aku merasa seperti wanita murahan. Aku mengemis cintamu yang bahkan belum satu jam yang lalu aku tolak. Aku malu, Mas. Aku malu mengakui semuanya,” jelas Shafa dengan matanya yang kembali memerah.
“Terima kasih kamu sudah mau jujur pada saya. Saya tidak tahu jika masalahmu sebesar ini,”
“Jujur saja, saya sangat kaget ketika kau datang dengan kabar yang begitu mengejutkan. Di satu sisi saya sangat senang karena perasaan saya bukan cinta sepihak. Tapi di sisi lain, saya cukup kecewa, kenapa kau tidak bisa menjaga dirimu sendiri.”
“Itu karena Mas Adam memaksaku, Mas. Dia merenggutku sesaat setelah aku… setelah aku melihatmu pergi di stasiun. Saat itu ia tengah mabuk karena kalah berj*di. Aku… aku…” Shafa menunduk malu sekaligus sedih. Ia menceritakan hal yang paling memalukan pada seorang yang dicintainya. Ia yakin, setelah ini Arif tidak akan mau melihatnya yang sudah kotor ini lagi. “Aku juga… aku sudah punya anak, Mas.” tambah Shafa yang begitu mengejutkan Arif.
Lelaki itu terperanjat mendengar penuturan Shafa. Hari ini gadis itu senang sekali memberinya kejutan. Setelah menolaknya, kemudian berkata bahwa menyukainya, lalu menyatakan jika dia sudah tidak suci, dan sekarang berkata sudah punya anak? Kejutan bertubi-tubi ini sulit dicernanya. Rasa cintanya seperti diuji sekarang. Dulu ia begitu mencintai Shafa dengan segala kesempurnaannya, namun kini ia dihadapkan pada kenyataan yang menohok hatinya. Bisakah ia mencintai Shafa sama seperti saat ia belum mengetahui semua fakta ini? Arif terdiam mendengarkan penjelasan Shafa selanjutnya. Rasanya menghakimi Shafa saat ini bukanlah hal yang pantas. Ia juga ikut andil dalam hal ini. Seandainya ia tidak pergi, ia yakin dapat menjaganya meskipun dalam kejauhan sekali pun.
“Namanya Wahyu. Saat ini dia berumur 3 tahun.”
“Kenapa Ibu tidak pernah tahu kau mengandung dan melahirkan? Dan… putramu itu, Ibu tidak pernah melihatnya.”
“Wahyu tinggal bersama Ibu saya di sebuah desa yang cukup jauh dari sini. Saya menyembunyikannya, menyembunyikan kelahirannya, dan menyembunyikan saat saya hamil karena saya takut Mas Arif… saya takut kelak ketika Mas Arif datang, dia membenci saya. Walaupun saya tahu sekarang ini dia sudah membenci saya setelah saya menceritakan semua ini,”
Arif terhenyak. Anak? Tak pernah terpikir olehnya Shafa sudah memiliki anak. Ia marah. Rasa marahnya bukan karena Shafa telah memiliki anak, namun karena wanita itu menyembunyikan semua fakta yang ada. Ia sudah membohongi semua tetangga bahkan dirinya sendiri hanya untuk Arif. Pria itu sangat tidak menyukai kepura-puraan untuk suatu hal yang semu. “Apa alasanmu menceritakan semua ini? Kamu berkata mencintaiku, kemudian membeberkan semua fakta yang sangat… sangat mengagetkanku. Saya bingung. Saya marah, Shafa. Di mata saya kamu adalah seorang wanita yang baik dan berakhlaq mulia. Tapi…”
“Untuk itulah saya tadi menolak lamaran Mas Arif. Jikalau saya menerimanya, sama saja saya membohongi Mas Arif. Mas hanya tahu saya yang empat tahun yang lalu. Empat tahun adalah waktu yang sangat panjang untuk terjadi berbagai hal yang mustahil terjadi. Dan dalam empat tahun itu memang terjadi hal yang sangat tidak terduga,” potong Shafa. “Maaf saya mengganggu Mas dengan segala fakta ini. Saya hanya ingin Mas Arif menerima Shafa yang sekarang dengan apa adanya saya, bukan Shafa yang empat tahun lalu. Semua keputusan ada pada Mas Arif. Shafa tidak akan memaksa.” pungkas Shafa.
Shafa sudah siap dengan semua keputusan Arif. Kalau beruntung, Arif masih mau menerimanya apa adanya. Namun, harapan itu tinggal harapan agaknya ketika melihat raut wajah Arif saat ini. Wajahnya merah seperti manahan amarah. Pun, ibu Arif. Beliau tampak sangat terkejut namun masih mampu mengontrol emosinya sendiri. “Lalu apa maumu sekarang?” Arif bertanya sinis.
Wanita itu kaget mendengarnya. Belum pernah ia mendengar Arif berucap sinis seperti itu. Ia menunduk takut. Ia sendiri bingung apa maunya. Di satu sisi ia ingin bersama Arif namun di sisi lain ia tak ingin Arif mendapat wanita semacam dirinya. “Shafa hanya ingin Mas Arif merasa adil. Shafa tidak ingin Mas Arif, Shafa tolak tanpa alasan yang jelas seperti tadi. Dan… Shafa rasa semua sudah dijelaskan. Maaf telah mengganggu Mas Arif.” Shafa berdiri kemudian menyalami ibu Arif dan beranjak dari kediaman Arif. Ia malu. Ia terlalu percaya diri jika Arif akan menerimanya apa adanya.
Seminggu sejak pengakuannya yang begitu mengejutkan, Shafa hidup layaknya seorang yang tak memiliki arah. Ia begitu lelah melakukan segala kewajibannya. Namun keberadaan anaknya mengahapus semua rasa lelah tersebut. Sekarang ini ia telah tinggal besama anaknya. Anaknya membutuhkannya. Ia tidak mau bersikap egois dengan menyingkirkan anaknya dari kehidupannya hanya untuk seorang lelaki yang kini membencinya.
Shafa menggandeng Wahyu mengelilingi halaman rumahnya. Balita kecil itu tampan, namun fisiknya kurang sempurna. Ia hanya mempunyai satu tangan utuh, yang membuatnya kesulitan melakukan berbagai hal. Namun Wahyu begitu aktif dan selalu membuat semangat Shafa kembali pada titik tertinggi dalam menjalani hidupnya. Saat tengah bercanda dengan Wahyu di halaman rumah, tiba-tiba saja muncul lelaki yang beberapa hari ini membuatnya bermuram durja. Lelaki itu datang bersama ibunya yang berpakaian sangat rapi. Shafa kemudian membukakan pintu gerbang dan mempersilahkan tamunya itu masuk dan duduk.
“Maaf sebelumnya. Ada apa ya, Ibu dan Mas Arif datang ke mari?” Shafa bertanya penuh keraguan.
“Ayahmu ada? Saya ke mari untuk meminangmu, Shafa,”
Setelah mendengar itu, Shafa sadar dan percaya bahwa cinta yang tulus itu memang benar adanya.
SELESAI

Kamis, 03 September 2015



Kemilau emas memancar saat Zhu membentangkan benang emas di sudut
kain pelepai. Sinar perak jarum di tangannya menyulam satu kehidupan tajam
yang menusuk. Udara Danau Menjukut berbau bunga kopi, bertiup perlahan
memasuki rongga hati, dan menghempas dada Zhu pada barisan awan di langit
menuju ke arah laut, ke arah pantai, ke arah teluk Tanjung Cina. Di sanalah
Sulaiman, lelaki yang telah menebas separuh umurnya, telah terkubur dan pergi.
“Sulaiman. Sulaiman. Itulah Zhu, dan aku bicara padamu!”
Bukit Barisan Selatan yang memanjang bergelombang seperti hidup, karangkarang
yang menjorok runcing dan tegak menuju ke arah perih laut Hindia, dari
Krui hingga Pulau Betuah. Dan bunga-bunga kopi, dan pucuk-pucuk damar,
dan awan awan biru—semua jelmaan tanah Tuhan ini, semata tercipta untuk
kesetiaan cinta pada Sulaiman.
Kegembiraan separuh umur, dan kesedihan pada ujung hidupnya, menciptakan
runcing jari-jari Zhu pandai menari. Menari dan bernyanyi di atas hamparan kain
sulaman. Menyerut seluruh jiwa yang sedih, yang gembira, yang mabuk, dan putus
asa. Lautan asmara, nyanyian cinta, kerinduan perih, dan pujian kepada tanah
tempat lelakinya terkubur. Ia menyeru di atas sehelai kain pelepai, menggambar
pola-pola yang rumit, dan membayangkan seluruh dirinya masuk. Menjadi naga
yang menggerakkan seluruh gelombang tanah, bukit, gunung-gunung, menjadi
liukan benang-benang emas dan rajutan benang-benang perak yang berkelit dan
berkelindan dalam gulungan warna aroma ombak, hijau daun, putih awan.
Ada merah api cinta yang semerbak di sana, ada kuning sejarah yang
membentang di atas helai kain pelepai setelah dicipta berhari-hari. Begitu indah,
dan selalu: delapan belas hari kemudian ia akan berjalan dari Danau Menjukut
ke arah bukit. Mencari angin yang bisa menyampaikan gema suaranya ke arah
laut. Mencari tempat di mana ia bebas memandang pada titik pantai Tanjung
Cina, yang diapit Selat Sunda serta Samudera Hindia. Di atas batu ia selalu akan
meniru gerak laut, mengibarkan kain tapis dan berteriak gembira.
“Sulaiman. Sulaiman. Itulah kain tapismu yang ke 340! Akulah Zhu, istrimu.
Perempuan yang telah menciptakan tarian sulaman benang dari separuh jiwaku.
Dan kini aku bicara padamu! Sulaiman. Sulaiman. Itulah Zhu, dan aku bicara
padamu!”
***
Setiap puncak Krakatau menyembul saat gelombang laut surut di pagi hari,
maka akan terlihat ribuan walet terbang berputar-putar mencari kehangatan
perpaduan kepundan dan matahari—yang kehangatan udaranya mungkin tidak
akan pernah diketemukan di benua manapun. Lalu menjelang sepenggalah
hari, gerombolan hitam ribuan burung laut yang gesit itu akan bergerak cepat
memintas selat menuju teluk Lampung dan Teluk Semangka. Di sanalah surga
dari segala keriangan makhluk hitam itu tersedia, dari pagi hingga petang.
Dari rantai makanan hingga kenyamanan angin, udara, dan matahari, yang
mencipta gairah untuk syarat berkembang-biak—ratusan, bahkan mungkin
ribuan tahun—tersedia secara alamiah sepanjang hari. Seiring waktu bergeser,
hingga senja mulai membayang, mereka kemudian akan bergerombol berlesatan
menuju pulau Tabuan, menunggu gelap sempurna. Lantas gerombolan hitam itu
akan memecah diri menjadi kelompok-kelompok kecil, dan bergerak bercericit
menuju berbagai arah mata angin: Kota Agung, Kalianda, dan Bandar Lampung.
Di kota-kota beraroma pantai itulah, mereka menemukan sarang. Istana tempat
terlelap di malam hari, yakni rumah-rumah gelap, lembab dan nyaman, berupa
gedung-gedung tinggi menjulang berbentuk kotak beton tak berjendela.
Hamparan ratusan kotak beton di seantero kota-kota itu, adalah jebakan cerdik
yang dibikin oleh manusia untuk memindahkan mereka dari kehidupan lepas
di pantai-pantai berkarang sepanjang Bukit Barisan Selatan. Sesungguhnyalah,
walet adalah makhluk yang mencintai kenyamanan, kemudahan, dan jalan
pintas yang praktis. Mereka tentu tidak diciptakan Tuhan untuk berpikir tentang
kebebasan. Maka bermigrasilah, setiap hari ratusan hingga ribuan walet memadati
jebakan-jebakan nyaman yang dibuat untuk diburu. Diburu sarangnya, yang
kelak diperjualbelikan sebagai barang ajaib dengan harga teramat tinggi.
Migrasi walet yang membawa harta karun dari sarangnya yang tak ternilai,
adalah juga berarti migrasi manusia (para pemburu walet) yang bergelombang
datang dari berbagai pulau seberang. Maka begitulah sejarah kota kemudian
terbentuk, menjadi bandar yang ramai, menjadi tempat singgah para pelancong
yang akhirnya menetap—kawin dan beranak-pinak. Maka begitu jugalah sejarah
30
kedatangan Zhu yang tiba pertama kali ke Bandar Lampung, dengan membawa
pesona kecerdasan dan keuletan, serta aroma kecantikan perempuan matang di
usia remaja—seorang anak saudagar besar dengan bakat cemerlang.
Zhu mengawali sejarah dengan melakukan perjalanan jauh dari pulaunya,
Kalimantan Timur. Meninggalkan leluhur menuju satu titik: kota berteluk hangat
di Selat Sunda. Para pedagang antar pulau telah mengabarkan sebuah rahasia
besar di hadapan ayahnya, Zhu Miau Jung, “Ada ratusan ribu walet memadati
puncak gunung tengah laut di Selat Sunda. Ada teluk di ujung timur pulau
Sumatera, yang memanjang dengan tebing-tebing karang menuju deretan Bukit
Barisan. Ada kota-kota beraroma pantai. Ada beberapa orang berhasil membuat
jebakan rumah bagi ribuan walet yang malang!”
Begitulah Zhu, memulai sejarah dengan membuat jebakan dari sepetak
tanah yang ia beli, dan membangunnya menjadi istana walet, dengan keahlian
yang tidak diragukan. Ya ya ya, dialah perempuan dengan aroma laut yang
berpadu keindahan teratai. Dialah perempuan dengan masa depan gemilang,
dari kegigihan dan keuletan. Dialah yang sejak lahir dididik sebagai pemburu
walet ulung yang kelak berhak menyandang keahlian serta nama besar Zhu Miau
Jung—pemburu walet paling terkenal lantaran ketajaman instingnya.
Konon Zhu Miau Jung telah melahirkan legenda, bahwa hanya dialah yang
bisa mengerti bahasa burung! Nyaris seluruh pedagang besar di Nusantara Timur
percaya. Maka ketika berita keajaiban tentang Selat Sunda tiba, ia tertantang
untuk mendorong putri satu-satunya pergi. “Bukan lantaran usiaku telah mulai
tua. Bukan itu. Petualangan untuk sebuah penaklukkan tak pernah mengenal
umur. Tapi kau harus harus segera menetapkan pilihan hidupmu. Pergilah, Zhu,
kau sudah pantas dan matang untuk memulai. Buru dan tangkap walet-walet itu,
dan letakkan dalam jumlah ribuan di dadamu, untuk melanjutkan nama besar
ayahmu, untuk nama baik leluhurmu!”
Ada deraian hujan pada matanya sempit, membuat setiap orang yang
dijumpainya tunduk dengan senang hati. Keramahan pada rambutnya panjang
berkibar, kesopanan pada putih kulit seterang bulan, dan lesung pipitnya yang
berkali membikin lelaki mabuk lantaran rindu. Zhu Ni Xia, menjadi terkenal
seantero mata angin.
Dari Liwa hingga Kotabumi, bahkan orang-orang Menggala seringkali singgah
untuk menukar pisang dan getah damar, dengan beras dan gula. Dari walet
menjadi bandar, meluaskan niaga dengan membangun puluhan gudang: tempat
menukar damar menjadi gula, atau ratusan karung kopi ditukar dengan kain dan
gemerincing mata uang. Kapal-kapal barang yang singgah selalu menjabat tangan
Zhu dengan hormat, dan menyampaikan salam kebesaran atas nama marga Zhu.
“Selamat dan sejahtera, pada bisnis Nona Zhu yang semakin maju.”
***
31
Akulah lelaki yang menantang angin di malam ketika serentetan tembakan
menggema sepanjang malam. Nyala api membumbung, membakar lumbung,
membakar atap dan dinding—puluhan rumah. Demi Tuhan, kesedihan turun
lewat langkah-langkah bergegas, dan teriakan kematian menggema pada ladangladang
kopi. Sayup di Balai Kampung sekumpulan lelaki memainkan gamelan
bambu cetik, dengan nada putus-asa, seolah dengan pukulan-pukulan itu mereka
menyatakan bahwa mereka adalah sekelompok petani pribumi yang punya hak
sama, dan tak sudi untuk pergi.
Sejak sore hari, menjelang maghrib, tanda-tanda itu sudah dimulai. Made
Sukari berlari menuruni bukit, sambil terus menunjuk ke arah lembah, “Celaka.
Mereka betul-betul tengah bergerak! Mereka hendak menyerbu!”
Dua ekor gajah telah mati, seminggu sebelum kegawatan semakin memuncak,
dan Made Sukari berlari memberi tanda menuruni bukit. Wajah-wajah pucat dan
gemetar menjalar, melewati ladang, kebun, dan rumah-rumah yang langsung
siaga.
“Siapa lagi yang telah membunuh gajah-gajah itu? Demi Tuhan, ini pertanda
celaka!”
Dua gajah telah mati. Sebelumnya, empat ekor gajah ditemukan tanpa nyawa
dengan leher terbelah dan gading lenyap meninggalkan dua bolongan kasar di
kepala. Tak ada petani di Kualakambas yang tega membunuh makhluk raksasa
bermata lembut. Puluhan, bahkan ratusan kali mereka menghalau gajah-gajah
yang tersesat di ladang, hanya dengan teriakan serta sapaan, “Pergilah manis, hus,
hus, pergilah dari ladang kami.” Antara gajah dan petani telah memiliki tautan
hati yang sama. Tak perlu ada parang menempel, apalagi sampai membelah leher.
Mereka akan pergi dengan langkah lamban, dan anak-anak seringkali
menyanyikan nyanyian gembira sebagai pengiring, “Pergilah wahai barisan
gendut, menuju hutan, bersama angin, menyongsong hujan....”
Tapi gajah-gajah itu telah terlanjur mati, dibunuh dengan keji. Dan gajah yang
mati akan menuntut balas dari negara. Sudah terlalu lama kampung ini berurusan
dengan negara. Bahkan 18 tahun silam, ayahku terbunuh bersama 200 petani kopi
yang dianggap membangkang, memberontak, hanya lantaran ia kukuh berkata:
“Sudah berpuluh tahun kami berdiam di sini, sebelum kawasan hutan negara
ditetapkan. Kami tidak tinggal di hutan, tidak merusak hutan, dan tidak punya
niat menjarah hutan. Kami adalah petani! Kami adalah pribumi, meski leluhur
kami berasal dari berbagai pulau dan berbagai suku! Kami adalah....”
Akulah lelaki yang menantang angin di malam ketika serentetan tembakan
menggema sepanjang malam. Akulah yang seringkali berkata kepada mereka,
bahwa kematian gajah-gajah hanyalah alasan agar kami semua dianggap bersalah,
dan berhak untuk dipaksa pergi. “Pergilah kalian, bakar kebun kopi dan ladang,
untuk dikembalikan menjadi hutan!” begitulah yang seringkali kudengar dari
32 Kelas XI SMA/MA/SMK/MAK Semester 1
mulut ibuku saat menceriterakan bagaimana ayahku mati. Maka tak perlu lagi
bertanya tentang siapa pembunuh gajah, kenapa gajah harus dibunuh. Demi
Tuhan, ketika Made Sukari berlari menuruni bukit, dan para lelaki berkumpul
di Balai Kampung lalu memainkan gamelan bambu cetik dengan putus asa, aku
sudah berkata: “Larilah ke hutan. Carilah jalan.”
Tapi mereka bergeming. Lalu suara tembakan, lalu asap pertama mengepul,
lalu suara-suara jeritan, teriakan dan entah—barangkali kematian. Gelap aku
menerabas pepohonan, menyeret tangan Nyiwar–ibuku. Berkelebat di pekat
hutan, terus berlari, menerabas berhari-hari. Entah berapa waktu telah hilang
digerus perih dan lapar, dan kesakitan. Hingga tiba di kampung yang entah,
sebuah jalan raya, dan truk pengangkut karet membawaku ke depan pintu gerbang
ini.
“Tolong bukakan gerbang. Katakan pada Nona Zhu, saya Sulaiman. Saya tidak
sedang membawa barang. Saya harus ketemu Nona Zhu.”
***
Sulaiman, dan berpuluh lelaki yang ia kenal baik, biasanya datang membawa
karung-karung biji kopi kering dengan kualitas terbaik. Tapi kali ini, Zhu melihat
sesosok lelaki berantakan, penuh goresan luka, serta menggenggam erat tangan
perempuan tua. Lelaki itu menggembol bungkusan kain—yang jelas pastilah
bukan biji kopi—dan memandang kepadanya dengan tatapan gawat. Zhu
melangkah mundur dengan refleks, “Cepat masuk!”
“Mohon maaf, Nona Zhu, ini ibu saya,” Sulaiman memperkenalkan Nyiwar.
“Saya tidak membawa...”
“Sutinaaaah,” Zhu memanggil pelayan, lalu menatap Sulaiman, “Kalian belum
makan berhari-hari? Demi Tuhan, aku sudah mendengar berita-berita soal
kerusuhan di Kualakambas. Hampir semua sopir menceritakan isu-isu simpangsiur.
Astaga.”
“Saya, Nona,” seorang pelayan perempuan muncul. “Segera siapkan makanan!”
Zhu menghirup nafas dalam-dalam. “Setiap petugas yang datang memeriksa
gudangku, selalu aku katakan, bahwa aku tak pernah menerima biji kopi dari
perkampungan yang masuk kawasan hutan negara. Tapi kau tahu, Sulaiman,
bertahun-tahun aku tetap menerima kopi dari kalian. Selalu dalam pikiranku,
bahwa ada sesuatu yang salah di negeri ini. Nah, sampai dua hari lalu, aku
mendapat penekanan yang lebih keras, bahkan ancaman, jika ada karung-karung
biji kopi yang dicurigai berasal dari kawasan hutan negara, gudangku akan
dibakar. Nah, bisa apa aku, Sulaiman? Sekarang engkau makanlah bersama ibumu.
Sutinah sudah menyiapkannya. Setelah itu, pergilah.... Demi Tuhan, Sulaiman,
aku tak bisa berbuat apa-apa. Bisa apa aku, dalam kondisi seperti ini? Aku tidak
bisa menawarkan kalian untuk tinggal.”
33
“Saya memang tidak tahu di mana saya harus tinggal, Nona. Saya datang ke
sini lantaran bertahun-tahun Nona melindungi kami, dengan cara tetap membeli
kopi dari kebun kami meskipun teramat besar resiko buat Nona. Tentu saya tidak
akan lagi merepotkan....”
Ada nada perih, dan Zhu tak sanggup menatap wajah lelaki itu.
[...]
Selalu ia berkata: “Belum saatnya engkau mengerti, Zhu. Tetap tinggallah di
kamar. Jangan keluar rumah. Jangan bercerita pada siapa pun, bahwa ada banyak
orang di rumah ini. Engkau mengerti?”
Dan ia hanya mengangguk. Dan bertahun-tahun kemudian, barulah ia
mengerti.
Lalu kini, di hadapannya, seorang lelaki muda dan seorang perempuan tua,
menjadi pelarian dan datang di depan gerbang pintu rumahnya. Ia melihat kedua
orang itu dari jauh, dari seberang meja makan, dan air mata Zhu menitik dalam
diam. Demi Tuhan, bukan dua sosok di meja makan itulah yang ia lihat, tapi
bayangan sebelas tahun silam serta keagungan ayahnya yang mampu berdiri
tegak di antara para pelarian, meskipun penuh resiko.
“Terimakasih, Nona. Hanya delapan belas kain tapis itulah barang yang bisa
kami bawa. Terserah Nona, mau dinilai berapa. Kami membutuhkan uang untuk
pergi ke Jawa. Delapan belas kain tapis ini, disulam ibu saya dengan sepenuh jiwa.
Bertahun-tahun,” begitulah Sulaiman berkata.
Lalu Zhu melihat kepergian dua orang itu. Terpaksa hanya bisa melihat.
Dengan hati perih.
***
Siapa nyana, bahwa delapan belas helai kain tapis buatan tangan Nyiwar,
telah membuat batin Zhu tercabik parah dan gila, begitu teramat menderita.
Ia tak pernah membayangkan, bahwa sehelai kain akan menyimpan getaran
dahsyat yang langsung menusuk pada jiwanya yang paling dalam. Pola-pola dari
silangan benang emas dan benang perak, liukan-liukan garis yang menyerupai
api, cinta, dendam, serta gambar-gambar dekoratif dalam olahan lambang daun,
tanah, laut dan langit, telah menuntunnya untuk berkaca pada dirinya, serta
hatinya. Alangkah dalam sentuhan jiwa yang paling perih, alangkah gila cinta
yang tertahan rindu dan kehilangan, alangkah ganas dendam yang terekam
dalam keputusasaan, alangkah indah jiwa-jiwa yang halus! Sungguh Zhu merasa
telanjang dan malu. Betapa ia malu.
Dengan segera ia menyebar orang-orang untuk mencari jejak Sulaiman.
“Carilah mereka. Geledah setiap kamar penginapan. Periksa setiap ruas jalan.
Susuri desa dan jalan pintas perkampungan. Mereka baru pergi dua belas jam!
Kalian paham? Bawa mereka ke sini, bawalah mereka....”
34 Kelas XI SMA/MA/SMK/MAK Semester 1
Zhu memberi perintah pada semua yang ada, setengah memohon, setengah
menangis. Ia lantas berlari ke tengah halaman, melihat langit, dan mencoba
menemukan wajahnya sendiri di keluasan langit. Pada awan-awan yang berarak.
Pada biru warna yang menyerupai cermin. Hingga larut malam tak ada kabar.
Hingga Zhu tertidur memeluk delapan belas kain tapis.
Hingga harapan pagi harinya berubah semakin tipis. Dan pada siang hari,
seorang pencari mengetuk ruangan Zhu sambil berkata,
“Mereka sudah ada di depan, Nona.”
Alangkah aneh, saat Zhu langsung menghambur dan memeluk Nyiwar, “Tidak
sepatutnya aku meminta kalian pergi. Aku meminta maaf. Tinggallah di sini.”
“Terimakasih Nona. Tapi kenapa?” Sulaiman menyela.
Ia merasa heran.
“Aku malu dengan kebesaran Ayah, kemuliaan leluhur, yang menitipkan namanya
padaku. Kami pernah mengalami hal serupa denganmu, Sulaiman. Dan kini, aku
siap dengan segala resiko. Sekali lagi, aku mohon, maafkan keputusanku yang
terburu-buru kemarin. Tinggallah di sini.” Betapa Zhu ingin terus memeluk Nyiwar,
melihat kedalaman matanya, merasakan kerut tangannya, dan melihat ada apakah di
balik tubuh ringkih yang sesungguhnya teramat perkasa ini? Dari mana datangnya
kehalusan jiwa sehingga tangan keriput ini bisa mengalirkan keindahan, kobaran
cinta, kerinduan sedih, serta dendam putus-asa, lewat tarian sulaman kain tapis yang
begitu menggetarkan? Ia ingin bertanya. Ia ingin menyelam. Ia ingin merengkuhkan
seluruh tubuhnya, dan dengan hormat memanggil, “Ibu”.
Maka setiap malam, ia selalu datang mengajak Nyiwar menyelami langit di
halaman, duduk berdua, melihat laut melewati bulan.
“Bulatan cahaya bulan, bunga kopi, dan warna laut di atas kain tapis, seperti
hamparan tanah, Nona. Benang emas akan mengalir dengan gerak batang jarum
sebagai takdir. Seperti harapan ketika membesarkan Sulaiman. Seperti cinta yang
tak habis pada ayah Sulaiman. Seperti mencintai rumah dan tanah. Cobalah Nona
genggam sekepal tanah, rasakan denyutnya. Kain tapis, benang, warna-warna,
semua akan berdenyut jika dirasakan dengan benar....”
Nyiwar akan terus bicara, dan Zhu dengan sungguh-sungguh menyimak.
Kadang tentang masa kecil Sulaiman. Tentang penembakan. Tentang air mata
yang mengalir saat menanam benih kopi. Tentang gelak tawa. Tentang air hujan.
Tentang pembakaran rumah. Tentang apa saja.
“Jadi Ibu membesarkan Sulaiman sendiri?”
“Dengan tanaman kopi, ya, dengan sedikit getah damar. Semua, semua, semua
adalah keringat kami. Dan juga doa.”
Bahasa Indonesia Ekspresi Diri dan Akademik 35
Nyiwar kadang terkekeh saat menceritakan Sulaiman.
“Ia seperti ayahnya, dengan naluri besar melindungi dan membela para petani.
Menyelundupkan
biji-biji kopi agar tetap bisa dijual, dan berbagai upaya agar para
petani bisa bertahan, di tengah berbagai ancaman. Ia seperti ayahnya. Tak bisa melihat
orang lain menderita. Kau tahu, Nona, ia melihat dengan kepala sendiri, saat ayahnya
ditembak mati.”
Adakah yang gentar menolak takdir? Saat cahaya langit terus berganti, maka
cahaya hati juga bisa berganti. Setiap kali Zhu memandang di kejauhan kamar,
tempat lelaki itu membuka jendela, ia selalu melihat bayangan ribuan kunangkunang
yang melesat memenuhi hatinya. Ia tiba-tiba saja merasakan bagaimana
angin yang bertiup dari kamar Sulaiman, adalah tiupan harum seribu bunga. Ia
benci jatuh cinta, tapi ia juga tak bisa menolak jatuh cinta. Berhari, berminggu,
kekaguman pada lelaki itu semakin tumbuh. Wawasannya yang luas, cara
bicaranya yang sopan, dan terutama: tindakan-tindakan berbahaya yang terus ia
lakukan meskipun ia dalam persembunyian. Ia terus menggalang kontak dengan
para petani, mencatat data, mencari bukti-bukti. Berkali Sulaiman tak pulang
dan Zhu menjadi cemas. Maka berkali ketika akhirnya Sulaiman muncul, rona
wajah Zhu menjadi purnama.
Zhu Ni Xia, perempuan matang yang kini telah memilih takdirnya. Pada
malam ketika kapal barang singgah di bandar, ia menitipkan pesan untuk ayahnya.
“Aku telah menemukan lelaki, Ayah! Dan aku jatuh cinta kepadanya.
Datanglah segera, untuk menjadi wali bagi putrimu tercinta.”
Ada purnama, ada cahaya, tapi ada lautan yang mengirimkan badai.
“Sampaikan pada Sulaiman, aku bersedia menjadi istrinya,” begitu ia meminta
kepada Nyiwar, dan begitulah Nyiwar mengatakan pada Sulaiman. Lalu bulan
berganti.
Ketika madu tumpah di lautan, ketika ia telah resmi memanggil Ibu kepada
Nyiwar—perempuan lembut sekokoh karang—dan ia resmi memanggil Abang
kepada suami; angin ibukota tiba-tiba mengirimkan badai lebih besar pada
parasnya yang jelita.
Dari Teluk Jakarta sebuah kapal perang berpenumpang ratusan prajurit
merapat di bandar, mengendap di subuh hari. Mengepung kota, menyisir gunung.
Berita pemberontakan petani kopi kembali pecah menjadi prahara.
Segerombolan lelaki garang mendobrak gerbang pintu rumah pengantin jelita,
membakar gudang dan memporakporandakan segala.
Teriakkan kata penghianat dan penadah, mengawali letusan tembakan di pagi
buta. Sulaiman digelandang paksa meninggalkan ceceran darah, dan tatapan
penuh cinta.
Kegembiraan separuh umur, dan kesedihan pada ujung hidupnya, menciptakan
runcing jari-jari Zhu pandai menari. Menari dan bernyanyi di atas hamparan
kain sulaman. Menyerut seluruh jiwa yang sedih, yang gembira, yang mabuk dan
putus asa. Lautan asmara, nyanyian cinta, kerinduan perih dan pujian kepada
tanah tempat lelakinya terkubur.
Ia menyeru di atas sehelai kain pelepai, menggambar pola-pola yang rumit, dan
membayangkan seluruh dirinya masuk. Menjadi naga yang mengerakkan seluruh
gelombang tanah, bukit, gunung-gunung, menjadi liukan benang-benang emas
dan rajutan benang-benang perak yang berkelit dan berkelindan dalam gulungan
warna aroma ombak, hijau daun, putih awan. Ada merah api cinta yang semerbak
di sana, ada kuning sejarah yang membentang di atas helai kain pelepai setelah
dicipta berhari-hari.
Begitu indah, dan selalu: delapan belas hari kemudian ia akan berjalan dari
Danau Menjukut ke arah bukit. Mencari angin yang bisa menyampaikan gema
suaranya ke arah laut. Mencari tempat di mana ia bebas memandang pada titik
pantai Tanjung Cina, yang diapit Selat Sunda serta Samudera Hindia. Di atas batu
ia selalu akan meniru gerak laut, mengibarkan kain tapis dan berteriak gembira,
“Sulaiman. Sulaiman. Itulah kain tapismu yang ke 340! Akulah Zhu, istrimu.
Perempuan yang telah menciptakan tarian sulaman benang dari separuh jiwaku.
Dan kini aku bicara padamu! Sulaiman. Sulaiman. Itulah Zhu, dan aku bicara

padamu!”

Selasa, 01 September 2015



              Hujan menyambut pagi ini dengan senyumnya. Tanah disekitarku mengeluarkan aroma khas yang tak bisa disamakan dengan aroma manapun. Dedaunan juga merunduk tak kuasa menahan air yang mengguyurnya. Angin berdesir membawa hawa dingin menusuk tulang. Aku menengadah menatap langit yang mengeluarkan butiran air bening. Kurentangkan tanganku untuk menyambut hujan. Kubiarkan hujan ini membasuh tubuhku, nodaku, dan sakitku. Air dari mataku pun mengalir bersatu dengan hujan yang membasahiku. Seiring hujan yang terus menyelimuti tubuhku, kenangan-kenangan itu muncul dalam fikiranku seperti film lama yang diputar kembali. Kenangan yang mengingatkanku akan segalanya. Segala hal yang kurindukan.
              Tiga tahun lalu aku begitu membenci hujan, sangat membencinya. Hingga akhirnya ketika aku bertemu seorang laki-laki yang menunjukkan padaku betapa indahnya tersenyum diantara hujan. Siang itu aku terjebak hujan dan memutuskan untuk menunggu hujan reda di halte. Kupikir aku sendirian di halte itu ketika kulihat ada seorang laki-laki turun dari bus dan duduk di sampingku. Laki-laki tersebut memakai celana jeans panjang dan kemeja kotak-kotak berwarna hijau dan ditangannya terdapat sebuah jaket abu-abu yang digunakannya untuk menghangatkan tubuhnya. Beberapa menit waktu berlalu dan sunyi melingkupi kami berdua, kukira ia tak tahan dengan diamku hingga akhirnya ia mengajakku berkenalan. Baru beberapa menit kami berkenalan, aku tak melihat kecanggungan di matanya. Ia menceritakan banyak hal padaku tanpa peduli kalau kami baru kenal. Aku juga menceritakan banyak hal padanya, hingga akhirnya aku bercerita padanya kalau aku begitu membenci hujan. Setelah aku selesai bercerita, ia menatapku bingung. Kemudian ia mengajakku berdiri dan menari di tengah hujan, tapi aku menolaknya. Ia tak putus asa, tangannya yang kuat menyeretku ketengah jalan yang saat itu sepi. Ia mengajakku menari, berdansa, berlari-larian di tengah hujan. Tak terasa hujan telah reda dan matahari kini berada di kaki langit. Kulihat jam di pergelangan tanganku. Apakah aku bermimpi? Selama 4 jam aku bermain dengan hujan bersama orang yang baru kukenal siang tadi. Tapi ini bukan mimpi. Setelah aku sadar, aku memberitahunya bahwa aku harus pulang sebelum orang tuaku mencariku. Kemudian ia menawarkan diri untuk mengantarku pulang dan aku mengizinkannya. Kami berjalan di trotoar. Hening menghampiri kami, ia sibuk dengan pikirannya sendiri dan aku pun begitu. Terlihat di ujung jalan di depan adalah rumahku, aku menunjukkannya padanya. Ia mengangguk dan menarikku dengan setengah berlari. Katanya lebih baik jika aku lebih cepat sampai di rumah. Beberapa menit kemudian kami telah sampai di depan rumahku. Aku menawarinya untuk mampir kerumahku tapi ia menolaknya. Ia segera izin pulang karena ingin segera berganti pakaian dan ia berjanji untuk berkunjung ke rumahku lain waktu.
              Beberapa hari kemudian ia menepati janjinya. Siang itu ia berdiri di depan pintu rumahku mengenakan celana jeans panjang dan kemeja hijau, baju yang dikenakannya ketika pertama kali ia bertemu denganku. Ketika aku membuka pintu untuknya ia menyunggingkan senyumnya yang begitu manis hingga aku tak sadar diri membiarkannya berdiri untuk beberapa saat. Sesaat aku tersadar lalu mempersilahkannya masuk dan duduk. Tak lama setelah aku berbincang-bincang dengannya diluar terdengar suara air berjatuhan. Ia mengajakku duduk di teras dan aku menyetujuinya. Kulihat ia terus memandangi hujan dan tersenyum kearahnya. Ia seperti tak menghiraukanku, aku terus mengajaknya berbicara tapi ia hanya mengangguk dan berbicara seadanya tanpa menoleh kearahku. Semakin lama aku semakin tak tahan, kutarik lengannya yang kuat ke halaman rumahku. Aku berdiri berhadap-hadapan dengannya kemudian ia tersenyum ke arahku. Ia mengajakku menari dan berlari-larian seperti saat pertama kali ia bertemu denganku. Aku tak tahu mengapa kini aku benar-benar menikmati indahnya hujan. Aku masih belum memahami mengapa ia begitu mencintai hujan. Aku pun tak mengerti bahwa kurasa kini aku juga mulai menyukai hujan. Suasana yang ia tunjukkan padaku. Aroma-aroma indah yang ia sodorkan untukku. Ya, kini aku benar-benar mencintai hujan, sama sepertinya dan dia yang telah membuka hatiku untuk tak memandang hujan dengan sebelah mata. Kini aku benar-benar merasakan damainya memeluk hujan. Aku telah terpikat oleh belaian lembutnya yang membasahi tubuhku.
              Sejak kunjungan pertamanya ke rumahku, ia jadi lebih sering berkunjung hingga orang tuaku telah hafal dengan wajah dan sifatnya. Hanya saja ia tak pernah memperbolehkanku untuk mengunjungi rumahnya, bahkan alamatnya pun aku tak pernah tahu.
              Suatu malam ia datang ke rumahku ditemani oleh hujan. Ia menungguku di halaman. Seperti biasa ia mengenakan celana jeans panjang dan kemeja. Tangan kanannya memegang payung dan tangan kirinya ia sembunyikan di dalam saku celananya. Aku berlari keluar tanpa menggunakan payung dan bergabung bersamanya dibawah lindungan payungnya. Tak seperti biasanya ketika kami tak pernah menghindari hujan kali ini kami berlindung darinya. Kurasa kedatangannya kali ini tak memberi suasana baik. Aku semakin yakin kalau perasaanku benar. Ia tak tersenyum seperti biasanya ketika ia bertemu denganku, ia terus menunduk sedari tadi. Setelah beberapa menit kami hanya terdiam, ia mengangkat wajahnya dan ia memandangku sembari berkata bahwa ia baik-baik saja. Lalu aku menatap matanya dan aku mengatakan bahwa aku tahu bahwa ia tidak dalam keadaan baik. Akhirnya ia menyerah dan ia mengangguk tanda setuju bahwa ia memang tak dalam keadaan baik. Kemudian ia mengatakan tujuannya datang kemari ia ingin berpamitan padaku, ia akan pergi ke luar negeri. Hatiku serasa tersentak, seperti ditindih sesuatu yang membuatku sesak. Tak kusadari air bening mengalir melewati pipiku. Perasaan apa ini? Mengapa aku merasa akan kehilangan seseorang yang amat kusayangi? Ia mencoba menenangkanku dengan mengatakan kalau ia tak akan lama mungkin hanya beberapa saat, tapi aku tak mempercayainya. Ia juga mengatakan kalau aku ingin menemuinya suatu saat nanti, aku harus menunggunya disini saat hujan datang. Setelah selesai mengatakan itu ia meraih tanganku dan menggenggamkan payungnya di tanganku kemudian ia tersenyum dengan manis, senyum tulus terakhirnya untukku sebelum akhirnya ia berbalik dan berjalan menerjang hujan. Ia tak berbalik untuk menoleh padaku lagi, ia terus berjalan menunduk dengan kedua tangannya dia sembunyikan di saku celananya. Aku terus menatap kepergiannya hingga tubuhnya hilang di kejauhan. Aku menjatuhkan payung yang ia berikan padaku. Kubiarkan rinai hujan memelukku, membasuh tangisku, membiarkanku basah olehnya.

              Sejak malam itu aku terus berlari ke halaman ketika hujan turun. Aku terus menunggunya hingga dua tahun terakhir. Aku tak mengerti mengapa ia meninggalkanku dengan keadaan seperti ini. Aku mencintai hujan, aku merindukan hujan sama seperti aku merindukannya, seorang laki-laki yang menunjukkan padaku betapa indahnya hujan yang kata orang begitu menyebalkan. Aku juga masih menitikkan air mata namun tak pernah ada yang tahu bahwa aku menangis karena hujan telah menyamarkannya. Hingga saat ini pun aku juga masih menyimpan payung yang ia berikan padaku. Payung berwarna hijau polos itu masih kusimpan baik-baik. Hanya itu yang kupunya, bahkan fotonya pun aku tak memilikinya. Aku tak pernah tau dimana ia tinggal, seperti apa rupa orang tuanya, ia hanya hidup disini, dalam kenanganku. Kenangan yang hanya aku dan hujan yang tahu.
Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!